Demi Tarif Listrik Murah, ESDM Bangun PLTS di Lahan Negara
Jakarta, CNN Indonesia -- Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengaku tengah menjajaki kerja sama dengan Lembaga Manajemen Aset Negara (LMAN) terkait pemanfaatan lahan untuk pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS).
Hal itu dilakukan sebagai upaya menurunkan ongkos investasi PLTS. Dengan demikian, harga jual listrik dari PLTS bisa menyentuh US$0,06 per Kilowatt-hour (KWh), atau lebih rendah dari Biaya Pokok Pembangkit (BPP) nasional sebesar US$0,07 per KWh.
Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM FX Sutijastoto mengungkapkan kerja sama yang ditawarkan dengan LMAN adalah terkait pemanfaatan lahan untuk pembangunan PLTS.
Di dalam kerja sama tersebut, pengembang listrik swasta dipersilahkan untuk membangun PLTS di atas lahan yang dikelola LMAN, sehingga nantinya pengembang tinggal membayar sewa saja setiap tahunnya.
Menurut dia, langkah ini tentu bikin investasi pengembang listrik swasta lebih efisien, sebab mereka tak perlu keluar biaya untuk membuka lahan. Apalagi, lahan yang dibutuhkan PLTS terbilang besar dan kadang butuh waktu lama untuk pembebasannya.
"Di dalam pengembangan PLTS, memang yang menjadi tantangan adalah financial engineering, bagaimana agar mendapat harga listrik yang murah. Ini bisa dimulai dengan memanfaatkan lahan yang dikelola dengan LMAN," jelas Sutijastoto, Rabu (24/7).
Selain lebih efisien, pembangunan PLTS di atas lahan LMAN tentu lebih efektif karena pembangkit yang dibangun pengembang swasta pun ujung-ujungnya akan jatuh ke tangan pemerintah.
Pasalnya, sesuai Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 50 Tahun 2017, pembangunan PLTS menganut skema Build, Own, Operate, Transfer (BOOT) dalam jangka waktu tertentu. Biasanya, di dalam Perjanjian Jual Beli Listrik (PJBL), transfer pembangkit dari swasta ke pemerintah terjadi setelah 30 tahun pembangkit beroperasi.
"Di dalam pengembangan PLTS, memang yang menjadi tantangan adalah financial engineering, bagaimana agar mendapat harga listrik yang murah. Ini bisa dimulai dengan memanfaatkan lahan yang dikelola dengan LMAN," jelas Sutijastoto, Rabu (24/7).
Selain lebih efisien, pembangunan PLTS di atas lahan LMAN tentu lebih efektif karena pembangkit yang dibangun pengembang swasta pun ujung-ujungnya akan jatuh ke tangan pemerintah.
Pasalnya, sesuai Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 50 Tahun 2017, pembangunan PLTS menganut skema Build, Own, Operate, Transfer (BOOT) dalam jangka waktu tertentu. Biasanya, di dalam Perjanjian Jual Beli Listrik (PJBL), transfer pembangkit dari swasta ke pemerintah terjadi setelah 30 tahun pembangkit beroperasi.
Maka itu, menurut dia, lebih baik membangun pembangkit di atas lahan pemerintah daripada membangun di atas lahan yang baru dibebaskan.
"Lahannya LMAN kan lahan negara, dan jumlahnya pun menyebar. Kami yakin LMAN juga melihat ini potensi bisnis yang menarik," kata dia.
Sutijastoto mengatakan sejauh ini memang belum ada pembicaraan detail terkait kerja sama tersebut. Namun, diskusi awal terkait potensi kerja sama tersebut secara garis besar sudah dikemukakan oleh Kementerian ESDM.
Menurut dia, pemerintah memang harus lebih proaktif dalam menjaring investor PLTS karena kebutuhan Indonesia akan pembangkit surya terbilang besar.
"Lahannya LMAN kan lahan negara, dan jumlahnya pun menyebar. Kami yakin LMAN juga melihat ini potensi bisnis yang menarik," kata dia.
Sutijastoto mengatakan sejauh ini memang belum ada pembicaraan detail terkait kerja sama tersebut. Namun, diskusi awal terkait potensi kerja sama tersebut secara garis besar sudah dikemukakan oleh Kementerian ESDM.
Menurut dia, pemerintah memang harus lebih proaktif dalam menjaring investor PLTS karena kebutuhan Indonesia akan pembangkit surya terbilang besar.
Di dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), pemasangan PLTS ditargetkan sebesar 6.500 MW pada 2025 mendatang. Namun, target pembangunan PLTS di dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) hanya 1.008 MW.
Sementara itu, pembangunan PLTS yang menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) hanya mampu memasang 217,23 MW saja. Artinya, terdapat gap sebesar 5.274,77 MW yang perlu dimanfaatkan.
"Terus terang kami masih punya pekerjaan rumah yang banyak untuk menjaring pemain masuk ke pembangkit EBT. Tak hanya dari sisi biaya investasi, mungkin ke depan Indonesia juga butuh bunga pendanaan yang cukup bersaing di dalam pengembangan EBT," pungkas dia.
Menurut data Kementerian ESDM, terdapat potensi EBT sebesar 442 Gigawatt (GW) di Indonesia. PLTS sendiri memiliki potensi sebesar 207,8 Gigawatt Peak (GWp) namiun baru dimanfaatkan sebesar 0,092 GWp.
Sementara itu, pembangunan PLTS yang menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) hanya mampu memasang 217,23 MW saja. Artinya, terdapat gap sebesar 5.274,77 MW yang perlu dimanfaatkan.
"Terus terang kami masih punya pekerjaan rumah yang banyak untuk menjaring pemain masuk ke pembangkit EBT. Tak hanya dari sisi biaya investasi, mungkin ke depan Indonesia juga butuh bunga pendanaan yang cukup bersaing di dalam pengembangan EBT," pungkas dia.
Menurut data Kementerian ESDM, terdapat potensi EBT sebesar 442 Gigawatt (GW) di Indonesia. PLTS sendiri memiliki potensi sebesar 207,8 Gigawatt Peak (GWp) namiun baru dimanfaatkan sebesar 0,092 GWp.
CNN Indonesia | Kamis, 25/07/2019 09:26 WIB
Jika anda memerlukan lampu penerangan jalan umum (PJU) bertenaga surya atau dengan sel surya atau solar cell. Lebih baik anda mempercayakan PT. Surya Energy Indonesia yang sudah berpengalaman dan berkompeten dalam memasok dan memasang PJU solar cell dan perlengkapan terkait lainnya. Anda dapat mengakses www.pjusolarcell.com atau www.surendo.co.id
Label: beralih ke pju solar cell, lampu jalan umum, pemasagan pju, penerangan jalan umum, pju bertenaga surya, pju hemat, pju solar cell
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda