Selama ini, listrik yang kita gunakan sehari-hari berasal dari energi fosil seperti batu bara. Namun, perlu diingat bahwa batu bara jumlahnya terbatas dan bisa habis kapan pun. Selain itu, penggunaan bahan bakar fosil juga merupakan penyebab utama dari pemanasan global. Sudah selayaknya kita mempertimbangkan memakai sumber energi lain.
Berada di garis khatulistiwa, sinar matahari di Indonesia dikenal sangat melimpah. Matahari bersinar sepanjang tahun, suatu keuntungan yang gak semua negara bisa miliki. Lalu, kenapa Indonesia gak menggunakan pembangkit listrik tenaga surya saja?
1. Pemanfaatan energi surya di Indonesia baru 0,05 persen saja
Dalam skala global, Tiongkok dan Amerika Serikat memimpin dalam penggunaan pembangkit listrik tenaga surya. Sementara, di Indonesia, justru pemanfaatan energi matahari masih sangat kurang. Hal ini dipaparkan oleh Direktur Perencanaan dan Pembangunan Infrastruktur Energi Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementrian ESDM, M. Arifin, dalam keterangan tertulis di laman esdm.go.id.
"Pemanfaatan energi surya di Indonesia baru sebesar 0,05 persen dari potensi yang ada. Sehingga masih banyak tantangan yang harus diselesaikan bersama, salah satunya adalah biaya produksi PLTS yang masih tinggi," terang Arifin.
Tantangan lainnya, PLTS tidak dapat ditransportasikan dan kurang kemampuan SDM dalam penguasaan teknologi PLTS.
2. Padahal, pembangkit listrik tenaga surya punya segudang manfaat, lho!
Laman Green Match menyebut bahwa energi matahari memiliki dampak paling sedikit terhadap lingkungan dibanding sumber energi lainnya. Di antaranya, tidak menghasilkan gas rumah kaca, tidak mencemari air, membutuhkan sedikit air untuk pemeliharaan serta tidak menimbulkan kebisingan.
Asal ada sinar, energi matahari dapat diterapkan di mana saja. Ini sangat berguna untuk daerah terpencil tanpa akses ke sumber listrik lain. Tentu saja, ramah lingkungan dan lebih murah merupakan keuntungan lain dari pemanfaatan energi matahari.
3. Meski begitu, Indonesia juga punya pembangkit listrik tenaga surya terbesar!
Diresmikan di desa Oelpuah, Kupang, NTT pada 27 Desember 2015 oleh Presiden Republik Indonesia Joko Widodo, PLTS Kupang ini memiliki kapasitas sebesar 5 MW. Dengan demikian, PT Lembaga Elektronik Nasional (LEN) turut serta membantu PLN dalam mengatasi defisit listrik di wilayah tersebut.
Berdiri di atas lahan seluas 7,5 hektare, terlihat ribuan panel surya membentang di atasnya. Satu panel surya menghasilkan 230 watt listrik. Wilayah NTT dirasa sangat cocok untuk mengembangkan PLTS sebab selama sembilan bulan dari satu tahun, NTT selalu disinari oleh cahaya matahari.
4. Biaya investasi mahal jadi kendala PLTS di Indonesia
Biaya investasi tinggi merupakan kendala dari terhambatnya pendirian PLTS. Sekurang-kurangnya, dibutuhkan biaya US$ 2 juta atau sekitar Rp26 miliar dari setiap 1 MWp. Jika PLTS dibangun dengan kapasitas 5000 MW, maka biaya yang dibutuhkan adalah sekitar Rp165 triliun. Kementrian ESDM mengatasi problem ini dengan membuka penawaran ke pihak swasta.
Meski begitu, PLTS tidak membutuhkan biaya operasional yang besar. Biaya yang dibutuhkan hanya untuk maintenance modul surya, seperti menyiram air untuk menghilangkan debu serta melakukan pemotongan rumput di sekitar modul. Bandingkan dengan pembangkit listrik tenaga diesel yang membutuhkan ribuan liter solar untuk mengaliri listrik.
5. Seberapa banyak energi yang dihemat dari adanya PLTS?
Memanfaatkan sinar matahari sebagai sumber energi dinilai sangat ramah lingkungan. Misalnya, energi 5.000 MW yang dihasilkan dari PLTS, bila dikonversi akan setara dengan menanam 18.124 pohon, menghemat 1,5 juta bahan bakar solar untuk PLTD serta mencegah emisi CO2 dari PLTD sebanyak 3,6 juta ton. Bayangkan betapa besar manfaat yang dirasakan apabila PLTS menjadi sumber listrik utama di tanah air!
Selain itu, menurut laman Solar Craft, setiap 1000 kWh, solar panel dapat mengurangi emisi hampir 8 pon sulfurdioksida, 5 pon nitrogen oksida serta 1.400 karbon dioksida. A really great benefit!
6. Perkara pembebasan lahan juga menjadi kendala
Seperti yang kita tahu, PLTS membutuhkan lahan yang luas untuk menempatkan panel surya. Hal ini pun menjadi kendala karena melakukan pembebasan lahan juga tidak mudah untuk dilakukan. Terlebih, di area padat penduduk, sulit memperoleh lahan untuk membangun PLTS. Hal ini kontras dengan Uni Emirat Arab (UEA) yang memberikan lahan gratis untuk investor dalam mengembangkan tenaga surya.
Berkaitan dengan masalah demografi tersebut, akan lebih baik jika PLTS dibangun di daerah yang masih memiliki lahan luas (seperti di luar Jawa), di dataran rendah dan dengan sinar matahari yang bersinar sepanjang tahun.
7. Apa target kementrian ESDM terkait PLTS di masa depan?
Tantangan mencari energi terbarukan terus dicari. Kementrian ESDM melalui Ditjen EBTKE sedang mencanangkan dibuatnya satu juta atap panel surya hingga tahun 2025 mendatang. Bila dikonversikan, proyek ini akan menghasilkan sekitar 1000 MW atau 1 GW. Hal ini juga membantu pemerintah dalam mencapai target kebijakan energi nasional. Let's hope for the best!
Nah, itu tadi alasan mengapa PLTS tak menjadi sumber energi listrik utama di Indonesia. Mari sama-sama berharap agar di masa mendatang sumber energi matahari dapat menggantikan energi fosil, ya!
Sumber: idntimes.com
Jika anda memerlukan lampu penerangan jalan umum (PJU) bertenaga surya atau bertenaga listrik, lebih baik anda mempercayakan PT. Surya Energy Indonesia yang sudah berpengalaman dan berkompeten dalam memasok dan memasang PJU listrik maupun solar cell dan perlengkapan terkait lainnya. Anda dapat mengakses www.pjusolarcell.com atau www.surendo.co.id
Label: beralih ke pju solar cell, lampu jalan umum, pemasagan pju, penerangan jalan umum, pju bertenaga surya, pju hemat, pju solar cell